MAHASISWA DAN BELA NEGARA
Pengertian Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara (PPBN)
Pembelaan negara atau bela negara adalah tekad, sikap dan
tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang
dilandasi oleh kecintaan pada tanah air serta kesadaran hidup berbangsa dan
bernegara.
Bagi warga negara Indonesia,
usaha pembelaan negara dilandasi oleh kecintaan pada tanah air (wilayah
Nusantara) dan kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia dengan keyakinan
pada Pancasila sebagai dasar negara serta berpijak pada UUD 1945 sebagai
konstitusi negara.
Wujud dari usaha bela negara
adalah kesiapan dan kerelaan setiap warganegara untuk berkorban demi
mempertahankan kemerdekaan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia, keutuhan wilayah Nusantara dan yuridiksi nasional serta nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945.
Maksud dan Tujuan PPBN
Usaha pembelaan negara
bertumpu pada kesadaran setiap warga negara akan hak dan kewajibannya.
Kesadaran demikian perlu ditumbuhkan melalui proses motivasi untuk mencintai
tanah air dan untuk ikut serta dalam pembelaan negara. Proses motivasi untuk
membela negara dan bangsa akan berhasil jika setiap warga memahami keunggulan
dan kelebihan negara dan bangsanya. Di samping itu setiap warga negara
hendaknya juga memahami kemungkinan segala macam ancaman terhadap eksistensi
bangsa dan negara Indonesia.
Dalam hal ini ada beberapa
dasar pemikiran yang dijadikan sebagai bahan motivasi setiap warganegara untuk
ikut serta membela negara Indonesia :
1)
Pengalaman sejarah perjuangan RI
2)
Kedudukan wilayah geografis Nusantara yang strategis
3)
Keadaan penduduk (demografis) yang besar
4)
Kekayaan sumber daya alam
5)
Perkembangan dan kemajuan IPTEK di bidang persenjataan
6)
Kemungkinan timbulnya bencana perang.
Perkembangan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
a.
Situasi NKRI Terbagi dalam
Periode-periode :
a)
Tahun 1945 sejak NKRI diproklamasikan sampai tahun 1965
disebut periode lama atau Orde Lama
b)
Tahun 1965 sampai tahun 1998 disebut periode baru atau
Orde Baru.
c)
Tahun 1998 sampai sekarang disebut periode Reformasi.
Perbedaan periode tersebut
terletak pada hakikat yang dihadapi. Pada periode lama bentuk yang dihadapi
adalah “ancaman fisik” berupa pemberontakan dari dalam maupun ancaman fisik
dari luar oleh tentara sekutu, tentara kolonial Belanda, dan tentara Dai
Nippon. Sedang periode baru dan periode reformasi bentuk yang dihadapi adalah
“tantangan” yang sering berubah sesuai dengan perkembangan kemajuan zaman.
Perkembangan kemajuan zaman ini, mempengaruhi perilaku bangsa dengan tuntutan-tuntutan
hak yang lebih banyak. Pada situasi ini yang dihadapi adalah tantangan
nonfisik, yaitu tantangan pengaruh global dan gejolak sosial.
b.
Pada Periode Lama Bentuk
Ancaman yang Dihadapi adalah Ancaman Fisik
Contoh : adanya PPPR
(Pendidikan Pendahuluan Perlawanan Rakyat), OPR (Organisasi Perlawanan Rakyat),
OKD (Organisasi Keamanan Desa), OKS (Organisasi Keamanan Sekolah). Dilihat dari
kepentingannya, tentunya pola pendidikan yang diselenggarakan akan terarah pada
fisik, teknik, taktik dan strategi kemiliteran.
c.
Periode Orde Baru dan Periode
Reformasi
Ancaman yang dihadapi dalam
periode-periode ini berupa tantangan nonfisik dan gejolak sosial. Untuk
mewujudkan bela negara dalam berbagai aspek kehidupan, pertama-tama perlu
dibuat rumusan tujuan bela negara.
Kewajiban membela negara merupakan salah
satu prinsip dalam konsep kewargaan aktif (active
citizenship), di mana bela negara menjadi tanggung jawab setiap
warga untuk bertindak bagi virtue
kemaslahatan bersama, dan bukan semata-mata untuk kepentingan individu warga.
Dalam kaitan ini, menjadi sangat penting bagi setiap warga untuk benar-benar
menyadari dan memahami kewajiban untuk ikut serta pembelaan negara. Jawaban
atas beberapa pertanyaan mendasar seperti mengapa warga memiliki tanggung jawab
atas pertahanan (bela negara)? Bilamana tanggung jawab tersebut dapat digunakan
dan tunaikan oleh setiap warga? Apa akibatnya bila warga mengabaikan tanggung
jawab ini? Pada titik ini kita akan berbicara mengenai pendidikan sebagai satu
sarana untuk membentuk kesadaran tanggung jawab warga.
Sebelum
lebih jauh, menarik untuk melihat bagaimana konsep bela negara dan
pendidikannya dipahami dan dilaksanakan. Pertama-tama bela negara dipahami
sebagai upaya mempertahankan negara dari serangan militer pihak luar. Kedua,
akibat dari pemahaman pertama, bela negara dan hal-hal yang terkait dengannya
(termasuk pendidikan bela negara) menjadi wilayah kerja militer. Ketiga, wujud
dari peran warga dalam upaya bela negara adalah keikutsertaan dalam wajib
militer (komponen cadangan).
Sebagai
ilustrasi, bisa kita lihat apa yang dilakukan dalam Pendidikan Pendahuluan Bela
Negara (PPBN). Aktifitas ini dilaksanakan di bawah koordinasi TNI dan Dephan.
DEPO Pendidikan (Dodik) Bela Negara, tempat penyelenggaraan PPBN, berdiri pada Juni
2003 di Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Bandung. Idenya berasal dari Panglima
Kodam III Siliwangi Mayjen Iwan R. Sulanjana dan Gubernur Jawa Barat ketika itu
H. Nuriana. Tujuannya adalah memperkaya wawasan kebangsaan masyarakat,
khususnya generasi muda (KCM, 13/12/2004).
Syarat
untuk mengikuti PPBN cukup mudah, yaitu berbadan sehat dan berusia maksimal 50
tahun. Materi PPBN yang diberikan antara lain wawasan nusantara, UUD1945,
sistem pertahanan semesta, Pancasila, dan otonomi daerah. Adapun praktik lapangan
meliputi pelajaran baris-berbaris, peraturan penghormatan militer, taktik regu,
kegiatan alam bebas, dan ketahanan mars (KCM, 13/12/2004).
Selain
Dodik PPBN, kegiatan ini juga pernah dilaksanakan oleh Universitas Siliwangi
(Unsil) Tasikmalaya. Bahkan PPBN menjadi kegiatan wajib setiap tahun bukan
hanya untuk mahasiswa tapi juga dosen dan karyawan. Peserta yang mengikuti
kegiatan PPBN tahun akademik 2005/2006, terdiri dari mahasiswa reguler 1.129
orang, dan kelas karyawan 245 orang. Tujuan dari PPBN Unsil adalah agar
mahasiswa memiliki kesiapan melaksanakan bela negara, terkait dengan cinta
tanah air (Pikiran Rakyat,
13/2/2006).
Pendidikan Kewargaan dan Bela Negara
Memang
ada aspek kemiliteran dalam aktivitas bela negara. Namun menyerahkan tanggung jawab
pendidikan bela negara hanya kepada militer akan menimbulkan persoalan. Selain
aspek kemiliteran, bela negara juga mengandung aspek tanggung jawab dan
kewajiban warga (civic
duties). Dengan kata lain, dari sisi warga, bela negara merupakan
bagian dari politik kewargaan (citizenship)
kita. Untuk melakukan pendidikan politik kewargaan, militer bukanlah institusi
yang tepat, karena bukan semata-mata aspek kemiliteran yang ada dalam konsep
bela negara, justru prinsip dan nilai kewargaan yang menjadi pokok dari konsep
bela negara. Karena itu pendidikan kewargaan (civic education) menjadi penting untuk
dilaksanakan secara intensif.
Di
dalam civic education
inilah tiga pertanyaan di awal tulisan ini akan dijawab. Jawaban bagi
pertanyaan pertama, terletak pada alasan mengapa kita berkumpul dalam satu
ikatan politik yang berbentuk republik.
Dalam
republik, kemaslahatan umum atau bersama (common
good) dan kebebasan (dalam pengertian non-dominasi) adalah dua
pilar utama. Untuk itu dibutuhkan partisipasi aktif setiap warga (active citizenship)
dalam memperjuangkan pencapaian kemaslahatan umum dan menjaga kebebasan.
Artinya, politik kewargaan ditujukan terutama bagi kemaslahatan umum bukan
semata-mata individu atau kelompok.
Di
sinilah pentingnya pendidikan kewargaan terutama dalam menanamkan kesadaran
agar setiap warga berpartisipasi aktif dalam seluruh kehidupan bermasyarakat.
Dalam partisipasinya setiap warga harus memiliki civic virtue yaitu mendahulukan kepentingan
umum daripada kepentingan pribadi, memiliki sikap toleran dan menghargai
pluralitas, memiliki kepedulian, keberanian, keadaban (civility) dan kejujuran
(Bobbio, 2003: 36-37; dan Maynor: 2003, 180-182).
Persoalannya
sekarang adalah bagaimana hubungan antara pendidikan kewargaan, dan bela
negara?
Dalam
republik, negara adalah organisasi politik warga yang berfungsi untuk menjamin
dan menjaga seluruh partisipasi warga dapat dilaksanakan demi kebebasan dan
kemaslahatan umum. Apa yang disebut sebagai ancaman terhadap negara harus kita
lihat sebagai ancaman terhadap kebebasan (non-dominasi) dan kemaslahatan umum.
Untuk itulah, seperti yang dikatakan oleh Machiavelli, setiap warga harus
terlibat dalam mempertahankan negara untuk melindungi kemaslahatan umum, dengan
demikian melindungi kebebasan mereka. (Maynor: 29) Inilah yang disebut sebagai
patriotisme dalam republik modern, yaitu kerelaan berkorban untuk mencapai dan
melindungi kemaslahatan umum dan kebebasan. Tanpa kebebasan non-dominasi dan
kemaslahatan umum, tidak ada republik. Jadi, dengan mempertahankan kedua pilar
tersebut berarti juga mempertahankan keberadaan republik.
Uraian
ini menjawab pertanyaan kedua dan ketiga sekaligus. Tanggung jawab dalam bela
negara digunakan ketika kebebasan dan kemaslahatan umum terancam, baik ancaman
dari luar maupun dari dalam. Jika warga mengabaikan hak dan kewajibannya maka
kebebasan dan kemaslahatan umum akan terancam. Dengan kata lain segala macam
pelibatan warga dalam aktivitas yang akan mengancam kebebasan dan kemaslahatan
umum harus ditolak, seperti wajib militer bagi perang yang bertujuan
mendominasi negara lain (misalnya pada perang Vietnam atau perang Irak).
Tugas
dari pendidikan kewargaan adalah memberikan pemahaman, nilai-nilai dan
ketrampilan bagi setiap warga untuk terlibat dalam republik. Dalam kaitannya
dengan bela negara (republik) pendidikan kewargaan berkewajiban membentuk
patriotisme sehingga segala upaya melindungi kebebasan dan common good dapat
dilakukan. Setiap warga yang terlibat dalam aktivitas bela negara sadar betul
akan alasan keterlibatannya karena memiliki jawaban atas tiga pertanyaan
mendasar di atas. Bukan karena terpaksa atau karena perasaan nasionalisme yang right or wrong is my country. Akan
tetapi karena kecintaannya akan kebebasan dan tujuan kemaslahatan semua warga.
1.
Pendapat saya sangat setuju dengan yang dikatakan oleh teman saya ini, sebagian
besar banyak manfaat yang di lakukan oleh seorang programmer yang membantu
memberikan informasi dan kerap juga bayak yang mengubah dengan suka-suka
mereka, itu melanggar norma yang ada tapi terkadang mereka tidak
mempedulikannya.
2. Saya sangat setuju dengan pendapat yang di dikatakan
oleh teman saya ini,carding sungguh sangat merugiakan buat mereka yang jadi
korban dan sangat beruntung untuk mereka yang berhasil menggunakan hak yang
bukan milik mereka itu sangat kelakuan yang tidak terpuji karena akan membuat
orang lain dirugikan dengan kelakuan mereka yang para ngeheck kartu kredit dll,
ini semua melanggar norma-norma yang ada dan diharapkan tidak ada lagi yang
melakukan hal yang kurang terpuji seperti ini.
3. Peran mahasiswa sangat penting dalam meningkatkan
wawasan kebangsaan yang membuat maju bangsa ini kelaknya, jadi Mahasiswa
memegang peranan penting untuk mengembangkan dan memajukan bangsa ini Karena,
mahasiswa merupakan salah satu aset Negara dan penerus yang nantinya akan
menggantikan kedudukan para pejabat menteri dan presiden dalam mengurus dan
mengembangkan Negara ini lebih maju lagi.
Upaya
pembelaan negara merupakan hak dan kewajiban kita semua sebagai warga negara.
Selama lebih dari 60 tahun Indonesia merdeka, telah banyak contoh upaya
pembelaan negara yang telah dilakukan oleh segenap komponen bangsa Indonesia.
Peran warga negara dalam pembelaan negara memiliki tingkat kewajiban yang
berbeda sesuai dengan kedudukan dan tugasnya masing-masing.
Peran yang dilakukan TNI sebagai komponen utama dalam pertahanan negara telah
mengalami masa perjuangan yang sangat panjang, mulai dari merebut dan kemudian
mempertahankan kemerdekaan. TNI menjadi barisan terdepan dalam menghadapi
ancaman ???? sik tersebut, antara lain menghadapi ancaman agresi Belanda,
menghadapi ancaman gerakan separatis, seperti APRA, RMS, PRRI/Permesta, Papua
Merdeka, PKI, dan lain sebagainya.
Kepolisian Republik Indonesia sebagai komponen utama dalam keamanan telah
melakukan upaya membela negara terutama yang berkaitan dengan ancaman yang
mengganggu keamanan dan keter tiban masyarakat, seperti kerusuhan,
penyalahgunaan narkotik, dan konflik antarmasyarakat. Ancaman keamanan pada
saat ini yang paling utama dan harus dihadapi Polri adalah ancaman teroris,
baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kita sudah menyaksikan bagaimana
teroris mengoyak-ngoyak keamanan dan ketertiban masyarakat Indonesia. Jika hal
tersebut dibiarkan maka akan meng ganggu keselamatan dan keamanan negara.
Contoh lain yang dilakukan Polri dalam upaya bela negara, antara lain:
1. mendukung tetap tegaknya negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945;
2. melakukan penyuluhan kesadaran hukum bagi warga negara;
3. melakukan pengaturan lalu lintas dan memberikan pengayoman keamanan bagi
warga negara;
4. memberikan perlindungan keamanan dari berbagai tindak kejahatan terhadap
warga negara;
5. melakukan proses penyidikan dan penyelidikan terhadap berbagai tindak
kejahatan.
Peran serta masyarakat dalam upaya pembelaan negara berlangsung sejak masa awal
kemerdekaan. Keterlibatan warga negara dalam pembelaan negara adalah sebagai
berikut.
1. Dibentuknya kelaskaran rakyat, kemudian dikembang kan menjadi barisan
cadangan pada periode perang kemerdekaan ke-1.
2. Pasukan Perang Gerilya Desa (Pager Desa) termasuk mobilisasi Pelajar
(Mobpel) sebagai bentuk per kembangan dari barisan cadangan. Pada periode
perang kemerdekaan ke-2.
3. Pada 1958-1960, muncul Organisasi Keamanan Desa (OKD) dan Organisasi
Perlawanan Rakyat (OPR) yang merupakan bentuk kelanjutan Pager Desa.
4. Pada 1961 dibentuk pertahanan sipil (Hansip), Wanra, dan Kamra sebagai
bentuk penyempurnaan dari OKD/OPR.
5. Perwira cadangan yang dibentuk sejak 1963.
6. Kemudian, berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1982, ada organisasi yang
disebut rakyat terlatih yaitu Wanra yang membantu pertahanan dan Kamra yang
membantu keamanan dan anggota per lindungan masyarakat.
Berbagai upaya bela negara juga dapat dilakukan melalui organisasi maupun
individu. Upaya bela negara tidak hanya berperang, tetapi mengharumkan nama
bangsa Indonesia di luar negeri pun disebut bela negara. Misalnya, yang
dilakukan oleh para atlet olahraga yang berlaga dalam olimpiade. Kita bisa ikut
bangga jika ada atlet Indonesia menjadi juara dalam kejuaraan antarnegara atau
kejuaraan dunia. Kebanggaan dan keha ruan kita bertambah ketika sang saka Merah
Putih berkibar dengan gagah di antara bendera negara-negara lain.
Selain itu secara organisasi, bela negara dapat dilakukan melalui pengiriman Tim
SAR Indonesia untuk mencari dan menolong korban bencana alam. Kita pernah
menyaksikan bagaimana peran Tim SAR, PMI, dan para medis dalam menanggulangi
dampak bencana alam dan korban tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Selain
secara organisasi, individu-individu sebagai warga negara juga dapat berperan
membela negara dalam tindakan, menjunjung nasionalisme, patriotisme, serta
membela Pancasila dan UUD 1945. Berbagai upaya pembelaan terhadap negara dan
mewujudkan keamanan dapat dilakukan warga negara dalam semua aspek kehidupan.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 Pasal 5, menegas kan bahwa pertahanan negara
berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahan kan seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah dan menjadi tanggung jawab segenap
bangsa. Oleh karena itu, ancaman terhadap sebagian wilayah Indonesia merupakan
ancaman bagi seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut maka
keikutsertaan segenap warga negara dalam upaya pembelaan negara bukan hanya
dalam lingkup nasional, tetapi juga dalam lingkungan terdekat tempat kita
tinggal. Artinya, menjaga keutuhan wilayah lingkungan kita tidak dapat
dipisahkan dari keutuhan wilayah negara secara keseluruh an. Oleh karena itu,
sebagai pelajar kita harus ikut berpartisipasi dalam membela negara di
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
1. Lingkungan Keluarga
Anggota keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, anak, serta orang lain yang
menjadi bagian dari keluarga harus melaksanakan kewajiban nya dengan baik dan
sungguhsungguh agar mendapatkan haknya sesuai kewajiban yang telah
dilakukannya. Misalnya, ayah/ibu mencari nafkah dan mengurus rumah tangga,
anak-anak belajar dengan sungguh-sungguh, serta pembantu mengerjakan pekerjaan
di rumah dengan baik.
2. Lingkungan Sekolah
Warga sekolah (civitas akademika) menghormati kepemimpinan kepala sekolah
dengan cara melak sanakan kewajibannya, antara lain sebagai berikut.
a. Siswa belajar dengan baik dan memenuhi unsur wajib belajar secara akademik.
b. Siswa menaati tata tertib sekolah atau berdisiplin.
c. Guru mendidik siswa dengan baik, di antaranya pendidikan damai dan
penyelesaian konflik tanpa kekerasan, serta mengacu pada tujuan yang akan
dicapai, baik kompetensi siswa maupun kurikulum.
d. Staf tata usaha melaksanakan tugas dengan baik dengan men dokumen tasikan
administrasi dengan tertib.
e. Penjaga sekolah melaksanakan tugasnya dengan baik.
3. Lingkungan Masyarakat dan Negara
Perilaku di masyarakat memperlihatkan bela negara disesuaikan dengan tuntutan
dan kebiasaan masyarakat setempat. Misalnya, mengikuti segala kegiatan dengan
berpartisipasi mengelola lingkungan yang kondusif dan mendukung kebijakan
pemerintah setempat. Bidang hukum, yaitu dengan cara berperilaku yang tidak
melanggar tata tertib yang berlaku.
Dalam bidang ekonomi dapat berpartisipasi meningkatkan kemakmuran di lingkungan
masyarakat dengan cara menjadi anggota koperasi dan tidak melakukan kecurangan
dalam perekonomian. Di bidang sosial budaya, mampu menunjukkan nilai budaya
terbaik sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Bidang pertahanan dan
keamanan dapat berbentuk menjaga keamanan lingkungan, seperti ikut ronda malam.
Kepedulian terhadap alam, di antaranya tidak mela kukan perbuatan yang dapat
merusak keseim bangan alam, seperti penebangan pohon sewenang-wenang dan
mendirikan bangunan seenaknya.
MAHASISWA
selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah demokrasi
selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai
pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia,
baik di Timur maupun di Barat.
Pemikiran
kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para
mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat
realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa
untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Tidak dapat dipungkiri bila generasi muda khususnya para mahasiswa, selalu
dihadapkan pada permasalahan global. Setiap ada perubahan, mahasiswa selalu
tampil sebagai kekuatan pelopor, kekuatan moral dan kekuatan pendobrak untuk
melahirkan perubahan. Oleh karena itu kiranya sudah cukup mendesak untuk segera
dilakukan penataan seputar kehidupan mahasiswa tersebut.
Dalam sejarahnya mahasiswa merupakan kelompok dalam
kelas menengah yang kritis dan selalu mencoba memahami apa yang terjadi di
masyarakat. Bahkan di zaman kolonial, mahasiswa menjadi kelompok elite paling
terdidik yang harus diakui kemudian telah mencetak sejarah bahkan mengantarkan
Indonseia ke gerbang kemerdekaannya.
Pergolakan dan perjalanan mahasiswa Indonesia telah tercatat
dalam rentetan sejarah yang panjang dalam perjuangan bangsa Indonesia, seperti
gerakan mahasiswa dan pelajar tahun 1966 dan tahun 1998. Masih dapat kita ingat
8 tahun yang lalu gerakan mahasiswa Indonesia yang didukung oleh semua lapisan
masyarakat berhasil menjatuhkan suatu rezim tirani yaitu ditandainya dengan
berakhirnya rezim Soeharto.
Legenda perjuangan mahasiswa di Indonesia sendiri juga telah memberikan bukti
yang cukup nyata dalam rangka melakukan agenda perubahan tersebut. Tinta emas
sejarahnya dapat kita lihat dengan lahirnya angkatan ‘08, ‘28, ‘45, ‘66, ‘74,
yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri tetapi tetap pada konteks
kepentingan wong cilik. Terakhir lahirlah angkatan bungsu ‘98 tepatnya pada
bulan Mei 1998 dengan gerakan REFORMASI yang telah berhasil menurunkan Presiden
Soeharto dari kursi kekuasaan dan selanjutnya menelurkan Visi Reformasi yang
sampai hari ini masih dipertanyakan sampai dimana telah dipenuhi.
Dengan demikian adalah sebuah keharusan bagi
mahasiswa untuk menjadi pelopor dalam melakukan fungsi control terhadap
jalannya roda pemerintahan sekarang. Bukan malah sebaliknya.
Agenda reformasi adalah tanggung jawab kita semua
yang masih merasa terpanggil sebagai kaum intelektual, kaum yang kritis dan
memiliki semangat yang kuat. Dan tanggung jawab ini hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang yang mempunyai rasa sosial yang tinggi. Bukan orang-orang kerdil
yang hanya memikirkan perut, golongannya dan tidak bertanggung jawab. Hanya
lobang-lobang kematianlah yang mampu menjadikan mereka untuk berpikir
bertanggung jawab. Jangan pikirkan mereka, mari pikirkan solusi untuk menghibur
Ibu Pertiwi yang selalu menangis dengan ulah-ulah anak bangsanya sendiri.
Kondisi tersebut tidak terlihat lagi pada
masa kini, mahasiswa memiliki agenda dan garis perjuangan yang berbeda dengan
mahasiswa lainnya. Sekarang ini mahasiswa menghadapi pluralitas gerakan yang
sangat besar. Meski begitu, setidaknya mahasiswa masih memiliki idealisme untuk
memperjuangkan nasib rakyat di daerahnya masing-masing.
Mahasiswa sudah telanjur dikenal masyarakat
sebagai agent of change, agent of modernization, atau agen-agen yang
lain. Hal ini memberikan
konsekuensi logis kepada mahasiswa untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan
gelar yang disandangnya. Mahasiswa harus tetap memiliki sikap kritis, dengan
mencoba menelusuri permasalahan sampai ke akar-akarnya.
Dengan adanya sikap kritis dalam diri
mahasiswa diharapkan akan timbul sikap korektif terhadap kondisi yang sedang
berjalan. Pemikiran prospektif ke arah masa depan harus hinggap dalam pola
pikir setiap mahasiswa. Sebaliknya, pemikiran konservatif pro-status quo
harus dihindari.
Mahasiswa
harus menyadari, ada banyak hal di negara ini yang harus diluruskan dan
diperbaiki. Kepedulian terhadap negara dan komitmen terhadap nasib bangsa di
masa depan harus diinterpretasikan oleh mahasiswa ke dalam hal-hal yang
positif. Tidak bisa dimungkiri, mahasiswa sebagai social control
terkadang juga kurang mengontrol dirinya sendiri. Sehingga mahasiswa harus
menghindari tindakan dan sikap yang dapat merusak status yang disandangnya,
termasuk sikap hedonis-materialis yang banyak menghinggapi mahasiswa.
Karena itu, kepedulian dan nasionalisme
terhadap bangsa dapat pula ditunjukkan dengan keseriusan menimba ilmu di bangku
kuliah. Mahasiswa dapat mengasah keahlian dan spesialisasi pada bidang ilmu
yang mereka pelajari di perguruan tinggi, agar dapat meluruskan berbagai
ketimpangan sosial ketika terjun di masyarakat kelak.
Peran dan
fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan secara santun tanpa mengurangi esensi dan
agenda yang diperjuangkan. Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi,
harus tetap tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa. Sikap kritis harus tetap ada
dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai
penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan.
Dengan begitu, mahasiswa tetap menebarkan bau harum keadilan sosial dan
solidaritas kerakyatan.
Peran Lembaga
Kemahasiswaan cukup signifikan, baik untuk lingkup nasional, regional maupun
internal kampus itu sendiri. Ke depan, peran strategis ini seharusnya juga
dimainkan oleh lembaga-lembaga formal kampus lainnya seperti pers mahasiswa,
atau kelompok studi profesi.
Secara garis
besar, menurut Sarlito Wirawan, ada sedikitnya tiga tipologi atau karakteristik
mahasiswa yaitu tipe pemimpin, aktivis, dan mahasiswa biasa.
Pertama,
tipologi mahasiswa pemimpin, adalah individu mahasiswa yang mengaku pernah
memprakarsai, mengorganisasikan, dan mempergerakan aksi protes mahasiswa di
perguruan tingginya. Mereka itu umumnya memersepsikan mahasiswa sebagai kontrol
sosial, moral force dan dirinya leader tomorrow. Mereka cenderung
untuk tidak lekas lulus, sebab perlu mencari pengalaman yang cukup melalui
kegiatan dan organisasi kemahasiswaan.
Kedua,
tipologi aktivis ialah mahasiswa yang mengaku pernah aktif turut dalam gerakan
atau aksi protes mahasiswa di kampusnya beberapa kali (lebih dari satu kali). Mereka merasa menyenangi kegiatan tersebut, untuk
mencari pengalaman dan solider dengan teman-temannya. Mahasiswa dari kelompok
aktivis ini, juga cenderung tidak ingin cepat lulus, namun tidak ingin terlalu
lama. Mereka tidak terlalu memersepsikan diri sebagai leader tomorrow
namun pengalaman hidup perlu dicari di luar studi formalnya. Sudah barang tentu
jumlah mereka itu lebih banyak daripada kelompok pemimpin.
Ketiga, tipologi mahasiswa biasa adalah kelompok mahasiswa
di luar kelompok pemimpin dan aktivis yang jumlahnya paling besar lebih dari
90%. Sesungguhnya cenderung pada hura-hura yaitu kegiatan yang dapat memberikan
kepuasan pribadi, tidak memerlukan komitmen jangka panjang dan dilakukan secara
berkelompok atau bersama-sama. Mereka ingin segera lulus, bahkan tidak sedikit
mahasiswa yang tidak segan-segan dengan cara menerabas (nyontek, membuat
skripsi "Aspal" dan lain-lain) agar segera lulus. Apakah hal ini
merupakan indikator kurangnya dorongan prestatif di kalangan mahasiswa, masih
perlu diteliti.
Fakta membuktikan, dinamika kehidupan
bangsa dan mahasiswa pada umumnya banyak dimotori oleh tipe pemimpin dan
aktivis ini. Meskipun secara kuantitas kecil tetapi mereka mampu menjadi
pendorong dan agen utama perubahan dan dinamika kehidupan kampus. Sebagian
mereka karena telah terlatih menjadi pemimpin dan aktivis, maka tidak sulit
setelah selesai pada akhirnya mereka juga menjadi pemimpin dan aktivis setelah
terjun di masyarakat dan pemerintahan.
Urgensi
bagi daerah
Dilihat dari segi kualitas maupun
kuantitas, para mahasiswa tetap saja merupakan komunitas elite yang patut
diperhitungkan dari dulu dan sampai kini terlebih bagi suatu daerah. Di daerah,
masih relatif sedikit anggota masyarakatnya yang dapat menyekolahkan sampai
tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu, keberadaan mahasiswa bagi suatu
daerah merupakan modal sosial yang luar biasa, yang dapat dimanfaatkan dan
diberdayakan bagi pembangunan suatu daerah. Namun mahasiswa, dapat juga menjadi
suatu "ancaman" bagi pemerintahan suatu daerah karena dapat bersikap
kritis dan mengambil peran sebagai kekuatan kontrol.
Demikian juga para mahasiswa harus mulai
berorientasi ke daerah bukan lagi ke pusat karena Pusat selain sudah overload
juga menjadi simbol ketimpangan pembangunan di Indonesia, sehingga diperlukan
desentralisasi dan orientasi baru dalam pembangunan daerah.
Organisasi
kemahasiswaan
Dinamika kehidupan mahasiswa tidak bisa
dilepaskan dari wadah atau organisasi yang menjadi instrumen bagaimana gagasan
atau program berusaha diwujudkan, baik organisasi intra maupun ekstra kampus.
Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan wahana dan sarana
pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan
kecendikiawanan serta integritas kepribadian mahasiswa untuk mewujudkan tujuan
pendidikan tinggi.
Mengingat mahasiswa merupakan bagian dari civitas
academica dan sebagai generasi muda dalam tahap pengembangan dewasa muda,
maka dalam penataan organisasinya disusun berdasarkan prinsip dari, oleh, dan
untuk mahasiswa dan merupakan subsistem dari perguruan tinggi yang
bersangkutan.
Pengalaman selama ini menunjukkan,
perguruan tinggi yang telah berhasil membentuk organisasi kemahasiswaan sesuai
prinsip-prinsip tersebut cenderung akan diterima oleh para mahasiswa dan
memperoleh partisipasi secara optimal. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa
kegiatan kemahasiswaan di perguruan tinggi maupun antarkampus dapat berjalan
dengan lancar.
Perlu dicatat, dewasa ini kecenderungan
organisasi kemahasiswaan yang bernuansa keilmuan dan profesi yang kegiatannya
antarkampus. Bahkan kadang-kadang berdimensi internasional cukup meningkat. Hal
ini, jelas memerlukan uluran tangan pimpinan perguruan tinggi, baik dalam aspek
bimbingan keilmuan maupun dukungan biaya yang tidak ringan. Keterlibatan ikatan profesi senior mereka dan dunia
usaha, diharapkan dapat menunjang kegiatan ini.
Resimen Mahasiswa (MENWA) merupakan wadah penyaluran
potensi Mahasiswa untuk ikut serta dalam bela Negara. Melalui Pendidkan Dasar
Militer yang wajib ditempuh setiap anggota MENWA, diharapkan memantapkan fisik
dan mental serta rasa kesadaran bela Negara dengan semangat, disiplin, dan jiwa
nasionalis yang tinggi.
Pembentukan Resimen Mahasiswa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan yang sangat teliti, begitu juga menyangkut Undang-Undang serta
surat keputusan bersama atau peraturan pemerintah yang mendasari terbentuknya
MENWA, seperti : PP No. 63 tahun 1945 tentang bantuan Militer, PEPERPU No. 038
tahun 1959 tentang wajib Militer Darurat, PP No. 22 tahun 1963 tentang Cadangan
Nasional, SK. Menkamnas. No. M/B/00307/61 tentang memperluas Latihan
Ketangkasan Keprajuritan dalam rangka kewaspadaan nasional dikalangan mahasiswa
di Perguruan Tinggi, SKB Wampa (Wakil Menteri Pertama) urusan Hankam/Kasab dan
Menteri PTIP No. M/20/1963 tanggal 24 Januari 1963 tentang Pelaksanaan Wajib
Latihan dan Pembentukan Resimen Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi, SK
Menteri Utama bidang Hankam No. Kep./B/32/1968 tentang pengesahan naskah
Rencana Realisasi Program Wajib Latih dan Wajib Militer bagi Mahasiswa, SKB
Menteri Pendidikan dan Menhankam No. 0288/U/1973 dan Kep./B/21/1973 tanggal 7
Desember 1973 tentang Penyelengaraan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira
Cadangan (PACAD) di Perguruan Tinggi, SKB Menhakam, Mendikbud, dan Mendagri No.
Kep./39/XI/1975, No. 0246/U/1975 dan No. 247 tahun 1975 tentang Pembinaan MENWA
Dalam Bela Negara yang diikuti SKB 1978, SKB 1994 serta SKB Menteri Pertahanan,
Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, dan Otonomi Daerah No.
14/M/X/2000, No. 6/U/2000, dan No. 39 A tanggal 10 Oktober 2000 tentang
Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa Dalam Bela Negara.